Software Islam

Mau belajar KITAB KUNING sendiri dirumah, mau sofeware kitab kuning GRATIS !..download aja di. www.shamela.ws berisi 3.2 Giga yang berisi ribuan kitab klasik maupun kontemporer,tafsir alquran, hadis bukhori muslim dll. atau jika anda kesulitan download pesan aja hanya 50 ribu sudah ongkos kirim seluruh indonesia DVD.HUb. Sunyono Hp : 0856 553 874 38 telp/sms. Mail : sunnysby@gmail.com
>>>KUMPULAN KITAB ISLAM LENGKAP

Solusi verifikasi PayPal dengan VCC murah Indonesia expired 1 tahun

Jumat, 18 Desember 2009

Tiga Pendekatan Dalam Ingatan Sosial dan Etika Politik

Tiga Pendekatan Dalam Ingatan Sosial dan Etika Politik
Paul Ricoeur mengusulkan tiga macam pendekatan terhadap ingatan sosial agar kita bisa sampai pada persoalan etika ingatan. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan patologis-terapetik, pendekatan pragmatik, dan pendekatan etis-politis.

Pendekatan patologis-terapetik menuntut adanya perhatian yang serius karena di sinilah penyalahgunaan-penyalahgunaan ingatan yang sering terjadi diakarkan pada sesuatu yang kita sebut luka-luka dan goresan-goresan ingatan. Dalam hal ini kita memiliki contoh yang baik berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini: pada tempat tertentu kita dapat mengatakan bahwa kita terlalu banyak mengingat, sementara di tempat lain kita tidak cukup dapat mengingat peristiwa tertentu, biasanya karena disengaja. Demikian juga, kadang kita tidak cukup dapat melupakan sesuatu, tetapi di saat lain kita terlalu banyak melupakannya.

Ada dua esai pendek yang ditulis Sigmund Freud, Remembering, Repetition, and Working Through (Durcharbeiten), yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan Metapsychology (1914) dan dapat digunakan mendukung pendekatan pertama ini. Titik tolak esai ini adalah sebuah insiden atau kecelakaan dalam kemajuan pengobatan psikoanalitik, ketika pasien terus-menerus mengulangi pelbagai simtom, untuk mendapatkan kemajuan menuju pengingatan-kembali, atau menuju rekonstruksi tentang masa lalu yang dapat diterima dan dapat dipahami. Oleh karenanya, pendekatan pertama ini terkait dengan persoalan resistensi dan represi dalam psikoanalisis.

Adalah menarik bahwa pada permulaan esai tersebut Freud mengatakan bahwa pasien mengulang alih-alih mengingat. Karenanya, repetisi merupakan kendala untuk mengingat.
Pada tahap yang sama dalam esai tersebut, Freud mengatakan bahwa baik dokter maupun pasien harus memiliki kesabaran: mereka harus bersabar dalam kaitannya dengan simtom-simtom tersebut, yang pada gilirannya memungkinkan mereka untuk didamaikan dengan kemustahilan untuk langsung menuju pada kebenaran-jika memang ada kebenaran yang terkait dengan masa lalu itu.

Lebih dari itu, pasien juga harus menerima penyakitnya agar dapat mengantisipasi saat ketika dirinya dapat didamaikan dengan masa lalunya sendiri. Jalan menuju rekonsiliasi dengan diri sendiri inilah yang justru merupakan sesuatu yang disebut oleh Freud sebagai "working through" (Durcharbeiten). Dalam esai ini pula Freud memperkenalkan istilah penting "memory as work" (Erinnerungarbite).

Esai kedua adalah Mourning and Melancholia. Dalam esai ini Freud berjuang membedakan dukacita (mourning) dari melankolia (melancholia). Melalui esai ini dia juga berbicara tentang "kerja" dukacita. Oleh karenanya, Paul Ricoeur berusaha menggabungkan kedua ekspresi ini-work of memory dan work of mourning-mengingat kerja ingatan merupakan sejenis dukacita, dan dukacita merupakan ujian yang menyakitkan dalam memori.

Dukacita merupakan sebuah rekonsiliasi dengan hilangnya sebagian obyek- obyek cinta; obyek-obyek cinta yang mungkin berupa pribadi, tetapi juga dapat berupa abstraksi-abstraksi semisal tanah air dan kebebasan-cita-cita dalam segala bentuknya. Yang dipertahankan dalam dukacita dan hilang dalam melankolia adalah harga diri. Inilah sebabnya dalam melankolia terdapat keputusasaan dan kerinduan untuk didamaikan dengan obyek tercinta yang telah hilang tanpa ada harapan akan rekonsiliasi.

Pada tahap ini, dukacita melindungi kita dari tren menuju melankolia ketika terdapat sesuatu yang dia sebut "interiorisasi obyek cinta", yang menjadi bagian dari jiwa. Namun, harga yang harus dibayar sangat mahal karena kita harus menyadari, langkah demi langkah, tingkat demi tingkat, pelbagai tatanan yang didiktekan oleh realitas. Ia adalah prinsip realitas melawan prinsip kesenangan. Dengan demikian, melankolia dapat menjadi pendakuan permanen atas prinsip kesenangan.

Dalam konteks politik, ketika kita masih terlalu banyak mengingat peristiwa tertentu dan kurang mengingat peristiwa yang lain menunjukkan bahwa kita masih berada pada sisi yang sama, kita masih berada pada sisi repetisi dan melankolia. Adalah luka-luka dan goresan- goresan sejarah yang diulang-ulang dalam kondisi melankolia.

Oleh karenanya, dukacita dan "working through" harus dilaksanakan bersama dalam perjuangan mencapai akseptibilitas ingatan: ingatan tidak hanya harus dapat dipahami, tetapi juga harus dapat diterima. Dan akseptibilitas inilah yang dipertaruhkan dalam kerja ingatan dan dukacita. Keduanya merupakan tipe-tipe rekonsiliasi.
Dari sini kemudian kita dapat bergerak menuju pendekatan kedua di mana pelbagai penyalahgunaan ingatan lebih mencolok.

Pendekatan ini disebut "pragmatik" karena di sinilah kita memiliki praksis ingatan. Ingatan sering tunduk pada penyalahgunaan karena ingatan memiliki banyak hubungan dengan persoalan identitas. Kenyataannya, pelbagai penyakit ingatan pada dasarnya merupakan penyakit-penyakit identitas. Ini disebabkan karena identitas, baik personal maupun kolektif, selalu sekadar dianggap, didakukan, didakukan-ulang; dan karena pertanyaan yang ada di balik problematika identitas adalah "siapakah saya (who am I)?" kita cenderung memberikan jawaban berkaitan dengan apakah kita (what we are). Kita berusaha memenuhi atau menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dengan siapa dengan jawaban-jawaban apa. Jawaban apa terhadap pertanyaan siapa ini sangat tidak tepat, rapuh, dan rawan terhadap penyalahgunaan ingatan.

Setidaknya, ada dua alasan mengapa jawaban apa terhadap pertanyaan siapa ini tidak tepat dan rapuh. Pertama, kita harus menghadapi kesulitan mempertahankan identitas sepanjang masa. Inilah pendekatan yang, antara lain, dikembangkan oleh Paul Ricoeur dalam Time and Narrative (1988), tetapi dari sudut pandang narasi, bukan sudut pandang ingatan. Jadi, persoalan pertama muncul-bagaimana mempertahankan identitas sepanjang masa-adalah persoalan yang dimunculkan baik melalui narasi maupun memori.

Mengapa? Karena kita selalu terombang-ambing di antara dua model identitas.
Analisis terhadap dua model identitas ini kemudian dilakukan oleh Ricoeur dalam Oneself as Another (1992) dengan mengintroduksi dua istilah Latin: idem identity dan ipse identity. Idem identity mengonotasikan kesamaan; kesamaan merupakan pendakuan untuk tidak berubah dengan mengabaikan perjalanan waktu dan dengan mengabaikan perubahan dari pelbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita dan dalam diri kita.

Yang kita sebut "karakter" kita merupakan contoh yang mungkin dari tipe identitas ini atau level kesamaan ini. Namun, dalam kehidupan personal, kita membutuhkan sejenis fleksibilitas, atau semacam identitas ganda, model yang bagi kita dapat menjadi janji, yakni kemampuan menepati janji. Ini tidak sama dengan tetap tidak fleksibel atau tidak berubah sepanjang masa. Sebaliknya, ia merupakan cara menghadapi perubahan, bukan menyangkalnya. Inilah yang disebut ipse identity. Kesulitan untuk mampu menghadapi pelbagai perubahan sepanjang masa merupakan satu alasan mengapa identitas menjadi demikian rapuh.

Kedua, kita berhadapan dengan persoalan the other. Kelainan (otherness), pertama-tama dijumpai sebagai ancaman terhadap diri kita. Adalah benar bahwa kita pada umumnya merasa terancam dengan fakta bahwa ada orang lain yang hidup menurut standar-standar kehidupan dan nilai-nilai yang bertentangan dengan standar kehidupan kita. Kecenderungan untuk menolak, menyingkirkan, merupakan respons terhadap ancaman yang datang dari the other ini.

Lebih dari itu, ada komponen lain yang menjelaskan kesulitan mempertahankan identitas kita sepanjang masa, dan mempertahankan kedirian kita dalam berhadapan dengan the other, yaitu kekerasan yang merupakan komponen permanen dalam hubungan dan interaksi manusia. Bahkan, sebagian besar peristiwa yang berkaitan dengan pendirian sebuah komunitas adalah tindakan-tindakan dan peristiwa-peristiwa kekerasan. Jadi, dapat dikatakan bahwa identitas kolektif berakar dalam pelbagai peristiwa pendirian yang merupakan peristiwa-peristiwa kekerasan.

Dari sinilah kemudian terletak arti pentingnya pendekatan ketiga, yaitu kewajiban mengingat. Pendekatan ketiga ini sudah memasuki wilayah etika politik karena ia berhadapan dengan konstruksi masa depan: yaitu kewajiban mengingat bukan saja dengan memiliki perhatian mendalam terhadap masa lalu, tetapi mentransmisikan makna dari peristiwa-peristiwa masa lalu kepada generasi mendatang. Kewajiban mengingat erat kaitannya dengan masa depan: ia merupakan imperatif yang diarahkan pada masa depan, yang merupakan sisi sebaliknya dari karakter traumatik dari pelbagai penghinaan dan luka sejarah.

Mengapa kita memiliki kewajiban mengingat? Pertama, karena ia merupakan perjuangan melawan erosi jejak-jejak; kita harus menjaga jejak-jejak, jejak-jejak peristiwa, karena terdapat kecenderungan umum untuk menghancurkan jejak-jejak itu. Aristoteles mengatakan bahwa "time destroys more than it constructs." Alasan kedua lebih bersifat etis. Dalam The Human Condition (1958), Hannah Arendt bertanya bagaimana mungkin akan ada kontinuasi tindakan dengan mengabaikan kematian, dengan mengabaikan erosi jejak-jejak.

Sebagai jawabannya, Arendt mengusulkan dua syarat bagi apa yang disebutnya sebagai kontinuasi tindakan: pengampunan dan janji. Mengampuni pada dasarnya merupakan pembebasan dari beban masa lalu, sementara janji meneguhkan kemampuan untuk terikat dengan ucapan kita sendiri. Arendt berhujah bahwa hanya umat manusia yang mampu dibebaskan melalui pengampunan dan diikat melalui janji.

Alasan ketiga adalah kewajiban mengingat berarti terus-menerus menghidupkan ingatan tentang penderitaan untuk melawan kecenderungan umum dalam sejarah untuk merayakan para pemenang. Kita dapat mengatakan bahwa seluruh filsafat sejarah, terutama dalam pengertian Hegelian, berkaitan dengan kumulasi keuntungan, kemajuan, dan kemenangan. Semua yang tertinggal di belakang menjadi hilang.

Oleh karenanya, kita membutuhkan sejenis sejarah yang paralel tentang victimization, yang akan menjadi counter bagi sejarah keberhasilan dan kemenangan, mengingat korban-korban sejarah-mereka yang menderita, yang terhina, terlupakan- merupakan tugas dan tanggung jawab kita semua.
Digg

Related Posts by Categories



Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Tiga Pendekatan Dalam Ingatan Sosial dan Etika Politik"

Posting Komentar