Software Islam

Mau belajar KITAB KUNING sendiri dirumah, mau sofeware kitab kuning GRATIS !..download aja di. www.shamela.ws berisi 3.2 Giga yang berisi ribuan kitab klasik maupun kontemporer,tafsir alquran, hadis bukhori muslim dll. atau jika anda kesulitan download pesan aja hanya 50 ribu sudah ongkos kirim seluruh indonesia DVD.HUb. Sunyono Hp : 0856 553 874 38 telp/sms. Mail : sunnysby@gmail.com
>>>KUMPULAN KITAB ISLAM LENGKAP

Solusi verifikasi PayPal dengan VCC murah Indonesia expired 1 tahun

Jumat, 18 Desember 2009

Ingatan Sosial dan Etika Politik

Ingatan Sosial dan Etika Politik

"Remember me," says King Hamlet to his son. Tell my story. Carry my memory, my legacy, my legitimacy, into the next generation, to my people, to my children and grandchildren. INGATAN pada mulanya bukan merupakan sebuah tindakan, tetapi sejenis pengetahuan semisal persepsi, imajinasi, dan pemahaman. Ingatan memunculkan pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, atau kelaluan dari peristiwa-peristiwa masa lalu.

PEMIKIR Perancis Paul Ricoeur (1999), misalnya, mengungkapkan bahwa ingatan memiliki dua jenis hubungan dengan masa lalu. Pertama adalah relasi pengetahuan, sementara yang kedua adalah relasi tindakan. Kedua relasi ini muncul karena mengingat merupakan jalan untuk melakukan segala hal, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan pikiran kita. Dalam mengingat atau mengenang kita menggunakan ingatan kita, yang merupakan sejenis tindakan. Justru karena ingatan merupakan sebuah exercise, maka kita dapat berbicara tentang penggunaan ingatan, yang pada gilirannya memungkinkan kita berbicara tentang penyalahgunaan ingatan. Persoalan-persoalan etis akan muncul begitu kita mulai merefleksikan hubungan antara penggunaan dan penyalahgunaan ingatan ini.

Pendekatan terhadap ingatan sebagai cara melakukan segala hal dengan pikiran, atau sebagai sebuah exercise, memiliki perjalanan panjang dalam sejarah filsafat. Dalam Sophist, misalnya, Plato berbicara tentang "seni" mengimitasi (mimetike techne). Dalam konteks ini, Plato membuat pembedaan antara phantastike techne ’yang tidak bisa diandalkan’ dan eikastike techne yang berasal dari eikon Yunani ’citra’, yang mungkin benar. Oleh karenanya, terdapat dua kemungkinan untuk mengimitasi atau mengenang: phantastike techne, yang bisa keliru dan tidak dapat diandalkan, dan eikastike techne, yang kemungkinan dapat diandalkan.

Setelah Plato, kita memiliki sejarah panjang tentang ars memoria, seni ingatan, yang merupakan semacam pendidikan mengenai tindakan mengingat masa lalu. Dan di penghujung tradisi yang memperlakukan ingatan sebagai seni ini berdiri Nietzsche dengan risalah kedua dari Untimely Meditation yang diberi judul On the Advantage and Disadvantage of History of Life. Ini menarik karena judul itu sendiri berkaitan dengan "penggunaan", bukan penggunaan ingatan semata, tetapi penggunaan filsafat sejarah dalam pengertian Hegelian, yaitu memperlakukan praktik sejarah sebagai sains.

Ingatan dan sejarah

Dalam konteks ini, menarik memerhatikan tesis sejarawan Perancis Pierre Nora (1996) yang menganggap rememoration sebagai sebuah penulisan sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab suatu atau serangkaian kejadian. Sebagai satu jenis historiografi, rememoration menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata, tetapi lebih pada struktur menyeluruh masa lampau di dalam masa kini.

Pusat perhatiannya lebih pada konstruksi tentang suatu peristiwa daripada dengan peristiwanya itu sendiri; lebih pada jejak-jejak yang ditinggalkan suatu tindakan daripada dengan tindakannya itu sendiri; lebih pada bagaimana suatu kejadian digunakan dan disalahgunakan di masa kini daripada dengan "apa yang sesungguhnya terjadi" itu sendiri.

Contoh penulisan sejarah dengan sebagai rememoration semacam ini antara lain pernah dilakukan oleh para kontributor The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (1990), buku yang kemudian disunting oleh Robert Cribb. Buku ini, demikian ungkap Budiawan (2003), layak disebut sebagai satu bentuk rememoration sekurang-kurangnya karena tiga hal.

Pertama, dengan menampilkan catatan-catatan tentang pembantaian massal di Jawa dan Bali, apa pun perspektif yang diambil para penulis catatan itu, The Indonesian Killings hendak menunjukkan bahwa goresan-goresan yang ditinggalkan pembantaian itu tetap membekas pada memori kolektif (sebagian) masyarakat Indonesia, sekalipun tertindih oleh wacana resmi yang dominan. Pembantaian yang meninggalkan goresan pada ingatan itu pada gilirannya membentuk semacam struktur kepribadian kolektif yang curiga pada kelompok lain, bersikap menjauhkan diri dari politik, dan mudah mengambinghitamkan pihak lain. Hal-hal semacam ini turut menopang keberlangsungan rezim Orde Baru hingga lebih dari tiga dasawarsa.

Kedua, dengan menyajikan analisis tentang efek-efek pembantaian massal semacam itu, The Indonesian Killings mencoba memperlihatkan bahwa pembantaian massal yang menyusul Gerakan 30 September 1965 bukan sekadar pembasmian PKI secara fisik, tetapi sekaligus penyiapan mentalitas yang menerima kehadiran suatu orde baru yang benar-benar terpisah dari orde sebelumnya. Istilah "Kesaktian Pancasila" menjadi simbol dari keterputusan sejarah yang dramatis.

Ketiga, dengan menampilkan analisis tentang bagaimana wacana populer (film, novel, cerita-cerita pendek) Orde Baru merekonstruksikan "apa yang terjadi di seputar 30 September 1965" dan masa-masa sesudahnya, The Indonesian Killings hendak menunjukkan bagaimana Orde Baru mencitrakan dirinya sebagai "penyelamat negara dan bangsa" dan sekaligus sebagai pihak yang bisa mengampuni mereka yang dianggap keblinger atau mereka yang dituduh komunis. Wacana populer semacam ini turut membentuk basis ideologis Orde Baru, yang menempatkan negara sebagai sumber kebajikan termasuk bagi mereka yang dicap sebagai "pengkhianat" sekalipun.

Sayangnya, perhatian terhadap penulisan sejarah sebagai sebuah rememoration masih kurang mendapat perhatian, baik dari sarjana Indonesia maupun sarjana luar negeri yang konsen dengan persoalan-persoalan politik, sosial, ekonomi, dan budaya di Indonesia. Lebih-lebih, masih ada kelompok-kelompok kepentingan tertentu yang enggan mengakui kebenaran sejarah masa lalu baik karena gengsi kekuasaan maupun karena merasa kepentingannya terancam.

Jika demikian halnya, sejarah sebagai rememoration akan mencatat bagaimana usaha menempatkan masa lalu pada tempatnya selalu menemukan hambatan. Masa lalu masih menjadi medan pertarungan antara mereka yang ingin menjadikannya sebagai sejarah, dalam arti masa lalu yang telah berlalu, dan mereka yang ingin memeliharanya sebagai hantu. Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apa pun dari masa lalu. Mereka telah menjadi "sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri" (Trouillot, 1995).

Padahal, seharusnya setiap orang bisa belajar dari masa lalu. Dalam kaitannya dengan kekerasan masa lalu, baik pelaku maupun korban bisa mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa kekerasan tersebut. Bagi pelaku, mengingat penderitaan korban di masa lalu merupakan tanggung jawab etis yang harus dia lakukan agar kejahatan serupa tidak terulang lagi. Lebih dari itu, ingatan akan penderitaan korban ini pun harus disampaikan kepada anak cucunya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan kemungkinan munculnya korban-korban potensial dan pelaku- pelaku potensial atas kejahatan dan kekerasan yang sama.

Bagi korban, ingatan akan kekerasan di masa lalu dapat menjadi referensi untuk meminta pertanggungjawaban terhadap pelaku sebagai upaya rehabilitasi atas penderitaan yang selama ini ditanggungnya. Dengan demikian, hak-hak korban sebagai manusia dan warga negara diharapkan dapat dipulihkan dan proses hukum yang berlaku harus ditetapkan dilaksanakan agar para korban mendapatkan rasa keadilan dan perlindungan yang semestinya dia dapatkan sebagai warga negara merdeka.
Digg

Related Posts by Categories



Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Ingatan Sosial dan Etika Politik"

Posting Komentar